Sejak Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW wafat pada tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah,
yang bertepatan dengan tanggal 8 Juni 632 Masehi. Beliau wafat di kota Madinah pada usia 63 tahun (menurut
kalender Hijriyah) atau 61-62 tahun (menurut kalender Masehi). Wafatnya Rasulullah SAW merupakan peristiwa yang
sangat besar dalam sejarah Islam. Penyebab wafatnya beliau adalah sakit yang dialaminya setelah melaksanakan Haji Wada'
(Haji Perpisahan). Setelah wafat, beliau dimakamkan di Rumah Aisyah RA, yang sekarang menjadi bagian dari
Masjid Nabawi di Madinah.
Setelah Rasulullah Muhammad SAW wafat, syariat Islam diteruskan oleh para sahabat Nabi.
setelah masa Sahabat Nabi, syariat Islam diteruskan oleh para Tabiin.
Tabiin adalah generasi setelah Sahabat Nabi, yaitu orang-orang yang bertemu dengan Sahabat Nabi tetapi
tidak bertemu langsung dengan Rasulullah SAW. Mereka memainkan peran penting dalam melanjutkan dan menyebarkan
ajaran Islam., ulama, dan umat Islam secara umum.
Hakikat Makrifat
Seringkali muncul sebuah pertanyaan dikalangan Ummat Islam tentang Ajaran Dinul-Haq:
" Apakah Rosulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW dahulu
mengajarkan Hakikat-Marikrifat ? "
Jawabannya: Ya...
Bukalah mata-hati (ainul bashirah) agar dapat memahami Ajaran Dinul-Haq Hakekat Makrifat sebagaimana Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur'an Surah Al-Hajj (22:46) yang berbunyi:
Maka tidak pernahkah mereka berjalan di bumi, sehingga hati (akal) mereka dapat memahami, telinga mereka dapat mendengar? Sebenarnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.
Simak pengajian ini dan pahami hakekatnya. Jika ada pertentangan pemahaman. Simpan dulu dalam lemari rapat-rapat,
jangan dibuang, siapa tahu kelak dibutuhkan kembali seiring Allah SWT memberi pemahaman.
Disetiap keteladannya, Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW sangat menekankan pentingnya kesucian rohani dalam ajaran Islam. Meskipun istilah hakikat dan makrifat lebih
populer dalam tradisi tasawuf (sufisme), esensi dari ajaran Rasulullah SAW memang mencakup pembersihan jiwa (tazkiyatun nafs)
dan pendekatan diri kepada Allah SWT, yang merupakan inti dari ajaran spiritual Islam.
Kesucian Rohani dalam Ajaran Rasulullah SAW
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa kesucian rohani adalah fondasi utama dalam beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah. Beberapa ajaran beliau
yang berkaitan dengan hal ini antara lain:
Tazkiyatun Nafs (Penyucian Jiwa)
Rasulullah SAW mengajarkan pentingnya membersihkan hati dari sifat-sifat buruk seperti sombong, dengki, riya', dan cinta dunia.
Allah SWT berfirman dalam Surah Asy-Syams (91:9-10):
قَدْ اَفْلَحَ مَنْ زَكّٰىهَاۖ
sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jiwa itu),
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسّٰىهَاۗ
dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.
Allah SWT mempertegas untuk kembali kepadaNya bagi yang jiwanya sudah tenang (bersih). Sebagaimana dalam Surah Al-Fajr (89:27-28):
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ
Wahai jiwa yang tenang!
ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
Ikhlas dalam Beribadah
Rasulullah SAW menekankan pentingnya ikhlas dalam semua amal perbuatan. Ibadah harus dilakukan semata-mata karena Allah, bukan untuk pujian atau penghargaan manusia.
Ini adalah inti dari hakikat, yaitu memahami esensi ibadah dan hubungan antara hamba dengan Penciptanya.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Gafir (40:66) tertulis:
Katakanlah (Muhammad), “Sungguh, aku dilarang menyembah sembahan yang kamu sembah selain Allah, setelah datang kepadaku keterangan-keterangan dari Tuhanku; dan aku diperintahkan agar berserah diri kepada Tuhan seluruh alam.”
Dan barangsiapa berserah diri kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul (tali) yang kokoh. Hanya kepada Allah kesudahan segala urusan.
Zuhud (Tidak Terikat pada Dunia)
Rasulullah SAW mengajarkan secara Rohani untuk tidak terlalu mencintai dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai sarana untuk mencapai keridhaan Allah.
Beliau hidup sederhana dan mengajarkan umatnya untuk fokus pada kehidupan akhirat.
Bahasa Alqur'an menyebutnya sebagai Tagut kecintaan yang cenderung menjadi ke-melekat-an diri yang dalam, sehingga cenderung
menghadirkan selainNya dalam Rohani dan menduakan Allah SWT. Dalam bahasa hakekat disebut syirik ghofi (halus), yang sangat
dibenci Allah SWT dan akan mendapatkan azab yang berat.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Baqarah (2:256) tertulis:
Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Dan orang-orang yang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku,
Dan orang-orang yang menjauhi tagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah, mereka pantas mendapat berita gembira; sebab itu sampaikanlah kabar gembira itu kepada hamba-hamba-Ku,
Makrifatullah (Mengenal Allah)
Rasulullah SAW mengajarkan umatnya untuk mengenal Allah melalui nama-nama dan sifat-sifat-Nya (Asmaul Husna).
Makrifat dalam konteks ini adalah mengenal Allah dengan hati, bukan hanya secara intelektual.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-'Ankabut (29:5) tertulis:
Barangsiapa mengharap pertemuan dengan Allah, maka sesungguhnya waktu (yang dijanjikan) Allah pasti datang. Dan Dia Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui.
Dan orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan-Nya, mereka berputus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu akan mendapat azab yang pedih.
Cinta kepada Allah (Mahabbah)
Rasulullah SAW mengajarkan bahwa puncak dari kesucian rohani adalah mencintai Allah lebih dari segala sesuatu.
Ini adalah salah satu tujuan tertinggi dalam tasawwuf.
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Fajr (89:27-30):
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ
Wahai jiwa yang tenang!
ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖࣖ
dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Karena jiwa -- nafsu atau diri sudah tenang, sebagai dampak terlepasnya Rohani dari belenggu tagut (selainNya) maka akan selalu bersama Allah SWT disetiap
aktifitas kehidupannya. Yaitu baik dalam aktifitas ibadah khusus (Mahdhah -- محضة) maupun ibadah umum (Ghairu Mahdhah -- غير محضة)
Kesimpulan
Rasulullah SAW memang mengutamakan kesucian rohani sebagai inti dari ajaran Islam. Ajaran beliau tentang penyucian
jiwa, ikhlas, zuhud, dan cinta kepada Allah adalah dasar dari pemahaman hakikat dan makrifat.
Meskipun istilah-istilah ini lebih berkembang dalam tradisi tasawuf, esensinya sudah diajarkan oleh Rasulullah SAW
sejak awal kenabiannya.
Ajaran Dinul-Haq
Tragedi Karbala (terjadi pada tahun 61 Hijriyah/680 Masehi) adalah peristiwa besar dalam sejarah Islam yang melibatkan
syahidnya Imam Husain bin Ali, cucu Rasulullah SAW, beserta keluarganya dan para pengikutnya. Peristiwa ini memiliki dampak
yang mendalam, tidak hanya secara politik tetapi juga secara spiritual dan teologis dalam dunia Islam. Ada pandangan bahwa
setelah tragedi Karbala, ajaran-ajaran spiritual yang mendalam, termasuk Dinul Haq (ajaran kebenaran yang mencakup hakekat dan
makrifat), selama ratusan tahun tidak disampaikan secara terbuka atau menjadi lebih tersembunyi.
Mengapa Ajaran Dinul-Haq disembunyikan ?
Dari penelusuran referensi diperoleh informasi global, terdapat 6 alasan utama secara manusiawi, yaitu:
Konteks Pasca Tragedi Karbala
Setelah tragedi Karbala, dunia Islam mengalami polarisasi politik dan spiritual yang semakin tajam. Kekhalifahan Umayyah, yang berkuasa saat itu,
lebih fokus pada konsolidasi kekuasaan dan stabilitas politik. Ajaran-ajaran spiritual yang mendalam, seperti hakekat dan makrifat, dianggap
berpotensi mengganggu stabilitas karena sering kali menekankan keadilan, kebenaran, dan kesucian jiwa, yang bisa bertentangan dengan kepentingan
penguasa.
Penekanan pada Syariat: Penguasa lebih memprioritaskan penegakan syariat (hukum Islam) yang bersifat lahiriah, karena lebih mudah dikontrol
dan diterapkan dalam pemerintahan.
Ajaran Spiritual Dibatasi: Ajaran-ajaran spiritual yang mendalam, seperti tasawuf dan hakekat, dianggap berpotensi membangkitkan kesadaran kritis
terhadap ketidakadilan, sehingga dibatasi atau tidak disebarluaskan secara terbuka.
Perlindungan Ajaran Spiritual
Setelah tragedi Karbala, para ahli spiritual dan keturunan Ahlul Bait (keluarga Nabi) merasa perlu melindungi ajaran-ajaran mendalam tentang hakekat dan makrifat.
Hal ini dilakukan karena:
Khawatir Disalahgunakan: Ajaran spiritual yang mendalam membutuhkan pemahaman yang tinggi dan kesiapan rohani. Jika disampaikan secara terbuka, dikhawatirkan akan
disalahgunakan atau dipahami secara keliru oleh orang yang tidak siap.
Ancaman dari Penguasa: Penguasa pada masa itu (seperti Dinasti Umayyah) sering kali memandang ajaran spiritual sebagai ancaman, karena ajaran ini menekankan keadilan,
kebenaran, dan kesucian jiwa, yang bisa bertentangan dengan kepentingan politik mereka.
Tradisi "Tasawuf" dan "Batiniah" yang Tersembunyi
Ajaran Dinul Haq, yang mencakup hakekat dan makrifat, kemudian dilestarikan melalui tradisi tasawuf dan ajaran
batiniah. Para sufi dan ahli spiritual menyampaikan ajaran ini secara hati-hati, biasanya hanya kepada murid-murid
terpilih yang dianggap siap secara spiritual. Beberapa alasan mengapa ajaran ini tidak disampaikan secara terbuka:
Elitisme Spiritual:
Ajaran spiritual dianggap hanya cocok untuk orang-orang tertentu yang telah mencapai tingkat kesiapan rohani.
Menghindari Konflik:
Menyebarkan ajaran spiritual secara terbuka bisa memicu konflik dengan penguasa atau ulama yang lebih fokus pada
syariat.
Pengaruh Tragedi Karbala pada Ajaran Spiritual
Tragedi Karbala sendiri memiliki makna spiritual yang mendalam. Imam Husain dianggap sebagai simbol perjuangan melawan
ketidakadilan dan penegakan kebenaran (haq). Namun, setelah tragedi ini:
Ajaran Spiritual Dikaitkan dengan Perlawanan: Ajaran spiritual yang mendalam sering kali dikaitkan dengan perlawanan
terhadap ketidakadilan, sehingga dianggap "berbahaya" oleh penguasa.
Ahlul Bait Menjaga Ilmu: Keturunan Ahlul Bait, seperti Imam Ali Zainal Abidin dan Imam Ja'far ash-Shadiq, menjaga dan
menyampaikan ajaran spiritual ini secara rahasia atau hanya kepada orang-orang terpilih.
Bukti Ajaran Dinul Haq yang Tersembunyi
Beberapa bukti bahwa ajaran Dinul Haq (hakekat dan makrifat) tidak disampaikan secara terbuka setelah tragedi Karbala
ntara lain:
Kitab-Kitab Sufi: Banyak kitab sufi yang ditulis secara simbolis atau hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Misalnya,
karya-karya Imam Al-Ghazali, Ibn Arabi, dan Rumi sering kali menggunakan bahasa yang tidak mudah dipahami oleh orang awam.
Tarekat Sufi: Ajaran spiritual disampaikan melalui tarekat-tarekat sufi, yang biasanya bersifat eksklusif dan hanya
menerima murid yang telah melalui proses inisiasi.
Ajaran Ahlul Bait: Keturunan Ahlul Bait, seperti Imam Ja'far ash-Shadiq, dikenal sebagai sumber ilmu spiritual, tetapi ajaran
mereka tidak disebarluaskan secara terbuka karena situasi politik yang tidak mendukung.
Apakah Ajaran Dinul Haq Hilang ?
Ajaran Dinul Haq tidak hilang, tetapi tetap hidup dalam tradisi tasawuf, ajaran Ahlul Bait, dan kitab-kitab klasik. Namun, ajaran
ini memang tidak menjadi arus utama dalam pendidikan Islam karena faktor-faktor politik, sosial, dan teologis. Bagi mereka yang
mencari, ajaran ini tetap dapat diakses melalui:
Kitab-Kitab Sufi: Seperti Ihya Ulumuddin (Al-Ghazali), Futuhat al-Makkiyah (Ibn Arabi), dan Mathnawi (Rumi).
Bimbingan Guru Mursyid: Dalam tradisi tasawuf, ajaran spiritual biasanya disampaikan melalui bimbingan guru yang mumpuni.
Kesimpulan
Setelah tragedi Karbala, ajaran Dinul Haq (hakekat dan makrifat) tidak disampaikan secara terbuka karena situasi politik yang
tidak mendukung, kekhawatiran penyalahgunaan, dan kebutuhan untuk melindungi ajaran ini dari pihak-pihak yang mungkin memanipulasinya.
Namun, ajaran ini tetap hidup dan dilestarikan melalui tradisi tasawuf, kitab-kitab klasik, dan ajaran Ahlul Bait. Bagi mereka yang
sungguh-sungguh mencari, ajaran ini tetap dapat ditemukan dan dipelajari.
🔍 Didukung oleh DeepSeek Chat – AI canggih untuk pencarian dan kreativitas.
Rosulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW diutus Allah SWT untuk menyampaikan Ajaran Dinul-Haq
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah An-Nahl (16:2) tertulis:
Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, (dengan berfirman) yaitu, “Peringatkanlah (hamba-hamba-Ku), bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.”
Ajaran Dinul-Haq Hakekat-Makrifat yang telah disampaikan oleh Rosulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW ini, harus disampaikan
kepada Ummat Islam secara terang benderang agar dapat membenahi Tauhid sesuai dengan Alquran dan keteladanannya.
Sejak Tahun 2014 Ajaran Dinul-Haq ini, kami sampaikan secara terbuka di kalangan Ummat Islam, namun sebelumnya disampaikan secara
tersembunyi dan tertutup secara isyarah. Kini sudah saatnya untuk disampaikan hanya untuk mengabarkan dan mengingatkan kembali sebagaimana
Rosulullah, Kanjeng Nabi Muhammad SAW lakukan.
Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an Surah Al-Isra' (17:105) tertulis:
Dan Kami turunkan (Al-Qur'an) itu dengan sebenarnya dan (Al-Qur'an) itu turun dengan (membawa) kebenaran. Dan Kami mengutus engkau (Muhammad), hanya sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.